BLITAR - Blitar yang berada di Provinsi Jawa Timur tidak bisa dilepaskan dari sejarah Banda Naira salah satu pulau di Kepulauan Banda dan merupakan pusat administratif Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah.
Peristiwa itu bermula dari penangkapan Kiai Bukhori pendiri Ponpes Jatinom, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar terkait dengan pemberontakan SI (Sarikat Islam) Merah pada November 1926 oleh Belanda.
Menurut penuturan, Ahmad Khubby atau akrab disapa Gus Bobby, cicit Kiai Bukhori saat kedatangan tokoh terkemuka dari Banda Naira, Nouval Abdul Karim pembina Hipmi Maluku. Peristiwa itu bermula ketika pada tahun 1914, saat SI (Sarekat Islam) menggelar pertemuan besar semacam Silatnas (Silaturahmi Nasional) di alon-alon Kota Blitar yang dihadiri HOS Cokroaminoto.
Baca juga:
Kasal Resmikan Monumen KRI Nanggala-402
|
"Kiai Imam Bukhori memakai Pondok Pesantren Jatinom ini dijadikan tempat makan bagi para peserta silatnas SI, " ujar Gus Bobby, pengasuh Ponpes Maftahul Uluum, Jatinom, Kanigoro, Kabupaten Blitar, Selasa (18/01/2022).
Baca juga:
KSAD Bagikan Tips Jadi Pemimpin Sukses
|
Dari situlah Belanda menganggap Kiai Imam Bukhori salah satu orang yang sangat membahayakan bagi kolonial yang harus diamankan. Ketika SI pecah menjadi SI Merah dan SI Putih, Imam Buchori bergabung dengan SI Merah yang berlawanannya lebih radikal kepada pihak Belanda.
"Kiai Buchori ditanggap oleh Belanda bersama Kiai Abdullah Fakih dari Plosokerep dan diasingkan ke Maluku tepatnya di Pulau Banda Neira pada tahun 1926. Peristiwa pengasingan Kiai Bukhori di Banda Neira sebelum kedatangan Bung Hatta dan Sutan Sjahrir, " papar Gus Bobby.
Belanda memindahkan Hatta dan Sjahrir ke Banda Neira pada tahun 1936 yang sebelumnya keduanya menjalani pengasingan di Digul, lokasi ini terletak di tepi Sungai Digul Hilir, Tanah Papua bagian selatan.
"Kedatangan keluarga tokoh Banda Neira, Noval Alkatiri ke Blitar sebagai kunjungan balasan. Sebab, tahu lalu Tim Ekspedisi Banda Neira yang terdiri dari 12 dari Blitar, melakukan ekspedisi sejarah ke pulau Banda Neira, " tambah Dosen IAIN Surabaya ini.
Di Banda Neira tim ekspedisi mendatangi monumen dan mengabadikan 16 nama tahanan politik di Banda Neira. Dalam keterangan dinding monumen bertuliskan tokoh yang pernah ditawan disana diantaranya, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Iwa Kusumasumantri, Cipto Mangunkusumo dan Kiai Bukhori bersama Kiai Abdullah Fakih.
"Disana, tim mendapat banyak cerita tentang kisah para pejuang kemerdekaan terutama kiai Imam Bukhori yang terkenal sebagai ulama jawa. Buyut sana tetap konsisten mengajar agama sampai dipulangkan ke jawa pada tahun 1938, " urainya.
Kepulangan Kiai Bukhori dari Banda Neira membawa tiga pasang pohon Pala dan dua kerang laut berukuran besar. Pohon pala tersebut ditanam di Istana Gebang Kota Blitar, Ponpes Jatinom dan lainnya ditanam kerabatnya. Peninggalan kerang dan pohon pala tersebut masih ada di Ponpes Maftahul Uluum, Jatinom, Blitar.
Ditempat yang sama tokoh Banda Neira, Nouval Abdul Karim mengatakan, kedatangan dirinya dan keluarga ke Blitar sebagai balasan Tim Ekpedisi Sejarah Banda Neira (TESBN) yang pernah data sana. Selain itu, untuk menjalin persahabatan antara Blitar dan Banda Naira.
"Kehidupan kekelurgaa warga di Banda Neira sangat tentram dan terang. Mereka hidup rukun serta saling menyayangi, " kata tokoh banda ini.
Kata dia, kita jalin silaturohmi dan persahabatan dengan keluarga di Blitar. Disamping itu nanti bisa bekerjasama tentang bisnis pertanian dan pendidikan atau saling tukar menukar informasi.
"Terkait dengan pendidikan keluarga di Banda menginginkan terkait dengan pendidikan anak-anak kami bisa masuk pesantren di jawa. Yang lebih penting lagi kepulangan kita nanti bisa membawa oleh-oleh spesial dari Blitar, " kelakar Nouval yang berdarah arab ini.
Dalam lawatannya di Blitar, keluarga Nauval selain mengunjungi Ponpes Maftahul Uluum Jatinom, juga menyempatkan diri melihat Kampung Coklat di Kademangan. Tak lupa Warga Banda ini juga mampir di Kebun Pembibitan CV. Nusa Patria Link di Garum dan yang terakhir melaksanakan sholat Maghrib di Masjid Ar Rahman di Kota Blitar. (Sumartono)